Category: Buku

  • Hikayat Sang Pendongeng

    Artikel ini sebelumnya terbit di Majalah Pantau edisi Januari 2004. John le Carré, sang pendongeng Perang Dingin, wafat pada tanggal 12 Desember 2020.

    SUATU KETIKA, PENELITI DOKTOR DAVID KELLY DIWAWANCARAI ANDREW GILLIGAN, wartawan BBC. Dalam perbincangan 45 menit ini, Gilligan bertanya mengapa Irak tidak menggunakan senjata biologis dan kimia miliknya. Kelly hanya memaparkan hal-hal teknis saja.

    Posisi Kelly sebenarnya mendukung perang. Ini menurut surat klarifikasi kepada atasannya, Doktor Bryan Wells, pada 30 Juni 2003. Menurut surat itu, Kelly meyakini adanya ancaman jika Irak melanjutkan program-program senjata nonkonvensionalnya. Yang jadi masalah, reportase Gilligan dianggap ingin menjatuhkan kabinet Blair, dan Kelly diposisikan sebagai si pembocor.

    Kelly tak urung mendapat tekanan dari kanan-kiri. Di sisi lain, kebijakan Inggris atas Irak pelan-pelan kehilangan legitimasi menyusul dilakukannya investigasi internal. Keadaan ini makin menambah berat beban Kelly. Dia sempat diperingatkan Direktur Personalia Departemen Pertahanan Richard Hatfield dan diancam akan diberikan sanksi indisipliner. Sebelum ancaman itu jadi kenyataan, Kelly ditemukan tewas. Bagi kabinet Blair, kematian Kelly bisa berarti banyak hal. Salah satunya, Blair terbebaskan dari tuduhan pemalsuan laporan intelijen yang mendasari penyerbuan Inggris ke Irak.

    Membaca ulasan-ulasan berita kasus David Kelly, saya ingat karakter Magnus Pym dan Leo Hartling. Mereka menghilang bersama dokumen-dokumen yang bisa mempermalukan pemerintah Inggris. Pym pejabat Departemen Luar Negeri, sedangkan Harting pengarsip Kedutaan Inggris di Bonn. Keduanya jadi kambing hitam atas kebobrokan dan kebocoran sistem di tempat mereka bekerja. Baik Pym maupun Hartling adalah tokoh-tokoh jelmaan yang lahir dari satu tangan: John le Carré.

    Karya-karya awal le Carré berkisar pada dunia intelijen, dan mampu terjual dalam jutaan kopi, selain memenangi anugerah Somerset Maugham Award untuk novelnya The Spy Who Come In From The Cold. Penghargaan itu biasa diberikan kepada penulis muda Inggris.

    Tema besar intelijen versi le Carré, dalam 30 tahun karyanya, lebih banyak berkisar pada dongeng Perang Dingin, terutama sepanjang konflik spionase antara Inggris dan (almarhum) Uni Soviet. Hanya satu novel saja yang menceritakan kisah cinta, The Naive and Sentimental Lover.

    Karya-karya le Carré selalu penuh kejutan dan kesuraman para tokoh utamanya. Mereka bukanlah jagoan super seperti James Bond, atau cerita-ceritanya dipenuhi oleh aksi-aksi heroik seperti Tom Clancy. George Smiley, tokoh yang sering ditulis kisahnya dalam buku-buku le Carré, adalah seorang laki-laki paruh baya, pendek, punya masalah berat badan, berkacamata tebal, dan belum pernah menembak orang seumur hidupnya. Kolega-koleganya malah lebih bervariasi. Ada Connie Sachs, ratu riset MI6 yang juga seorang dosen di Oxford; Sam Collins, yang menghabiskan hidup mudanya di Asia Tenggara sebelum menjadi bos bisnis rumah judi, atau Toby Esterhease, yang sewaktu pensiun menjadi pedagang furnitur dan barang antik. Yang mungkin mirip dengan Bond adalah Peter Guillam, yang selalu memiliki mobil sport dan terlibat skandal dengan perempuan muda.

    Kebanyakan tokoh utamanya mati di akhir cerita, kalau bukan merasa hidupnya sia-sia. Misalkan saja, Magnus Pym yang bunuh diri sebelum agen-agen MI5 sempat menangkapnya, atau Jerry Westerby, tokoh utama dalam The Honourable Schoolboy, yang mati ditembaki oleh agen rahasia Barat lainnya.

    Sangat jarang akhir cerita novel-novel le Carré disesaki gemilang kemenangan, biarpun pahit sudah mengawali novel-novelnya. Pengkhianatan jadi nada dominan dari plotnya. Ini memosisikan le Carré sebagai novelis yang berusaha menampilkan Perang Dingin dengan segala kesuraman, kekalahan, dan kekejamannya. Potret tersebut dia kemas dalam frasa-frasa yang terasa satir. Hal ini sekaligus menempatkan novel-novel Le Carré berbeda dari galibnya kisah-kisah spionase yang banyak kita baca. Le Carré bahkan berulang-ulang menyiratkan bahwa pistol kecil Walther PPK yang melegenda bersama James Bond itu tak lebih dari ilusi. Dia tahu bahwa ada peraturan MI6 yang melarang agen-agennya membawa senjata apapun.

    Untuk mereka yang terbiasa dengan heroisme dar-der-dor, pasti akan menyatakan le Carré penulis cerita spionase yang payah. Jika Bond diwarnai sifat sebagai “pejantan unggul,” tokoh-tokoh le Carré seringkali dihantui oleh perasaan-perasaan sentimentil. Misalkan saja karakter Barley, pemilik penerbitan yang hobi minum, nekat bernegosiasi dengan agen-agen Rusia untuk bisa membawa keluar Katya, perempuan yang dicintainya. Jerry Westerby nyaris membubarkan operasi besar MI6 karena rasa cintanya pada perempuan simpanan seorang taipan. Atau George Smiley dan agen bernama sandi Karla yang terikat sebuah hubungan melankolis dengan pemantik api bertuliskan “To George from Ann with all my love.”

    JOHN LE CARRÉ, NAMA YANG DIGUNAKAN DAVID JOHN MORE CORNWELL. Hidup Le Carré dimulai dari kariernya sebagai diplomat setelah lulus Oxford University. Salah satu jabatan yang pernah dia pegang adalah sekretaris pertama Kedutaan Inggris di Bonn, Jerman. Puluhan tahun le Carré menepis dugaan bahwa dia mantan agen rahasia, namun belakangan dia mengakui telah bergabung dengan dinas rahasia Inggris sejak jadi anggota tentara pendudukan Inggris di Austria. Tugas pertamanya sangat konyol. Dia diperintahkan merekrut mata-mata di antara para pengungsi yang lari dari daerah pendudukan Uni Soviet untuk dikirim kembali ke Blok Timur.

    Setelah tugas ketentaraannya berakhir, dia kembali ke kampus, menjadi agen MI5 di Lincoln College untuk mewaspadai perekrutan KGB di kalangan mahasiswa Inggris. Le Carré sempat mengajar di Eton, tapi kemudian bekerja di Kedutaan Inggris di Bonn atas perintah MI6 sebagai sekretaris.

    Dia selalu punya satu kata untuk menjelaskan profesi spionasenya: “membosankan.” Menurut pengalamannya, sebagian besar kerja intelijen sangat birokratis, ‘menunggu informasi dan memilah-milahnya. Gambaran penuh aksi yang digambarkan lan Fleming dalam James Bond nyaris jarang terjadi. Demikian pula tumpukan-tumpukan arsip, yang selalu muncul dalam narasi novel-novel le Carré, bukanlah gambaran tipikal dunia intelijen sesungguhnya. Acap teka-teki intelijen yang terjadi di dunia nyata tidak terjawab.

    Sewaktu bekerja dengan MI5, dinas rahasia Inggris untuk kontraspionase, le Carré bertemu dengan seseorang yang dia jadikan model untuk tokoh George Smiley. Namanya Lord Clanmorris, yang menulis buku-buku cerita detektif dengan menggunakan nama John Bingham.

    Bingham-lah yang menyarankan le Carré untuk menulis. Namun Bingham sama sekali tidak sepakat dengan gambaran dinas rahasia Inggris yang dilukiskan le Carré. Dalam kata pengantar untuk buku Bingham, Five Roundabouts to Heaven, yang diterbitkan Pan Classic Crime tahun 2001, le Carré menulis, “Buat John -dan juga banyak lainnya- klaim maksud baik hanyalah omong kosong. Aku hanyalah seorang bajingan, segolongan dengan bajingan lain seperti Compton McKenzie, Malcolm Muggeridge, dan J.C. Masterman, yang semuanya telah mengkhianati dinas rahasia dengan menulis tentangnya.”

    Le Carré lebih beruntung dari Compton Mackenzie, mantan anggota dinas rahasia yang menulis beberapa novel jenaka tentang pemerintah bayangan Inggris, salah satunya berjudul Water in Britain. Buku-buku Mackenzie dibredel dan dia masuk penjara, sementara Le Carré tidak mengalami gangguan apapun dari para espiokrat Inggris.

    Yang menarik dari kehidupan le Carré, perkenalannya dengan dunia penyamaran bukanlah saat bergabung menjadi agen rahasia, tetapi justru dari masa kecilnya. Ayahnya, Ronald Cornwell, adalah seorang kriminal dan penipu yang selalu punya trik untuk mendapatkan gaya hidup mewah. Karena ayahnya sering keluar-masuk penjara, terutama karena penipuan lotre, le Carré dan saudaranya terpaksa menyembunyikan identitas mereka.

    Sebagai kriminal kelas kakap, yang selalu berhasil menipu bankir dan politisi, Ronald Cornwell punya banyak cara untuk menjerat sasarannya. Dia pernah menggunakan koneksi perempuan-perempuan cantik untuk membuat regu cricket nasional Australia menandatangani 100 tongkat pemukul cricket yang dia beli. Lalu, tongkat-tongkat cricket itu dijadikan hadiah untuk anak-anak para bankir, politisi, ataupun rekanan bisnis lainnya.

    KETIKA TINKER TAILOR HAMPIR SELESAI, INGGRIS DAN EROPA TERASA menyesakkan bagi le Carré. Semua yang dia temukan tidak ada yang cocok untuk dijadikan cerita. Dalam kalimatnya, seekor kucing duduk di atas kesetan bukanlah cerita. Seekor kucing duduk di atas kesetan seekor anjing, itu baru cerita. Dia merasa harus membuka horison baru, dan Asia Timur menjadi perhentian le Carré berikutnya. Vientiane, Phnom Penh, Bangkok, dan Hongkong kemudian segera jadi pengembaraannya, dan Klub Koresponden Asing di Hongkong menjadi tempat berteduhnya.

    Dia kerap bertemu dengan banyak orang dari belahan dunia. Sebagian mereka berasal dari daerah-daerah bekas koloni Inggris -Australia, Amerika, dan Kanada. Salah seorang yang berkesan bagi le Carré adalah Richard “Dick” Hughes, wartawan The Sunday Times dan sempat menjadi salah satu kolumnis Far Eastern Economic Review.

     Le Carré menjadikan Dick Hughes sebagai model untuk tokoh Craw, dan pada saat bersamaan, mengekspos aktivitas sampingan Hughes: agen rahasia paruh waktu. Mungkin le Carré melakukan libel dalam melukiskan Hughes dalam wujud Craw, tapi Hughes tak keberatan. Ketika le Carré melakukan konfirmasi kepadanya, dia menjawab: “Nak, lakukan saja sampai ke akar-akarnya,” sambil mengingatkan bahwa Fleming juga melakukannya dalam novel You Only Live Twice.

    Jalan hidup Hughes memang menarik. Hidupnya bermula sebagai pegawai jawatan kereta api Australia, lalu menjadi juara debat negara bagian Victoria. Variasi hidup Hughes begitu lebar, termasuk menjadi juara tinju kelas ringan dan menjadi aktivis serikat buruh kereta api, sebelum menjadi jurnalis. Pada masanya, dia pionir dalam jurnalisme Australia dalam hal memfokuskan liputan di Asia. Menjelang Perang Dunia l, Hughes nekat berangkat ke Jepang dengan biaya dari tabungannya yang tidak seberapadan pinjaman Au$ 400 dari bosnya, Frank Packer. Mungkin disitulah awal perkenalan Hughes dengan dunia spionase, terutama setelah bertemu dengan Richard Sorge, agen rahasia Rusia.

    Liputan terbesar Hughes selama Perang Dingin adalah wawancaranya dengan Guy Burgess dan Donald Maclean, dua mata-mata Rusia berkebangsaan Inggris yang berhasil memegang posisi-posisi kunci di Departemen Luar Negeri dan Dinas Rahasia Kerajaan Inggris. Keduanya ditemui Hughes setelah mereka diketahui berada di Moskow, berhasil meloloskan diri dari para pemburu MI5.

    Lukisan Craw yang dibuat le Carré berdasarkan karakter dan pengalaman Hughes adalah bagian dari upayanya untuk mengekspos lebih jauh dunia spionase.

    Dan dunia spionase tak hanya konteks Barat versus Rusia. Le Carré juga merasa harus membawa salah satu karakternya, George Smiley, ke Timur Tengah untuk bertarung dengan tokoh Karla. “Tapi saya tidak bisa menemukan satu plotpun di Timur Tengah yang sangat kelam, sangat manipulatif, sangat konyol yang dapat mewadahi konfik tersebut,” komentar le Carré.

    Dia merasa tidak ada cerita untuk Smiley di sana. Lagi pula, kesuksesan serial Tinker Tailor Soldier Spy di BBC, di mana Smiley diperankan baik oleh aktor Alec Guinness, telah, “merampas tokoh tersebut dari saya. Sangat sulit untuk menuliskan Smiley setelah Smiley diperankan Guinness menjadi terkenal. Di satu sisi kesuksesan filmnya malah merusak langkah saya.”

    Jadilah le Carré mendatangi Israel dan Palestina, untuk membongkar konflik Israel-Palestina dalam kacamata baru. Dia memandang Barat telah mengabaikan aspek-aspek dari konflik berkepanjangan tersebut. Apalagi Golda Meir, perdana menteri Israel pada 1960-an pernah sesumbar, “Bangsa Palestina tidak pernah ada.” The Little Drummer Girl ditulis le Carré pada 1982 setelah serangkaian riset dan kunjungannya ke Israel dan Palestina. Dia berbicara dengan perwira-perwira intelijen militer dan Mossad, selain sempat hidup bersama dengan para pejuang Palestina di kamp Rashiddiyeh, yang terus-menerus diserang militer Israel.

    Dia juga memotret trend konflik Barat dengan Blok Timur yang saat itu sudah berwujud dalam terorisme. Dari pemboman, pembajakan pesawat terbang sipil, sampai pembantaian terhadap atlet Israel di Olimpiade Munich 1976. Di sini berkibar nama Bäder-Meinhoff, Carlos the Jackal, Brigade Merah, dan nama kelompok teroris lain yang mengklaim peristiwa-peristiwa tersebut. Sumber perekrutan kelompok-kelompok tersebut sebagian besar adalah bekas-bekas mahasiswa yang pada 1968 terlibat gelombang pemberontakan di berbagai negara maju, atau pada 1970-an kelompok-kelompok anarkis yang hidup dalam generasi hippies. Frustasi terhadap kapitalisme jadi bahan bakarnya.

    THE LITTLE DRUMMER GIRL SEMPAT MENGUNDANG PROTES BEBERAPA wartawan Israel, karena dianggap pro-Palestina. Le Carré dituduh anti-Semit karena paparannya dalam buku itu memberi simpati pada para pejuang Palestina. Apalagi, risetnya untuk menyusun novel itu termasuk berbicara dengan Yasser Arafat.

    Ceritanya dimulai dengan seorang aktris teater bernama Charlie yang dengan sadar mengubah latar belakang hidupnya demi dapat diterima kelompok anarkis, untuk menyenangkan pacarnya, Alastair. Meski dia tahu, Al bukanlah seorang anarkis yang baik, dalam kehidupan domestik dia adalah seorang fasis.

    Tapi bakat akting Charlie, yang benar-benar dia lakukan sehari-hari, menarik sekelompok orang yang mencoba menghentikan gelombang pemboman terhadap orang Yahudi Israel.

    Kelompok agen Mossad yang dipimpin oleh Kurtz, yang sudah muak pada badut-badut di Knesset (Parlemen Israel) dan para serdadu Israel yang haus darah. Kurtz, bekas seorang teroris Yahudi sebelum 1948, bosan dengan pemboman yang dilakukan militer Israel terhadap rakyat sipil Palestina.

    Bagi mereka, Charlie umpan untuk seorang teroris Palestina, yang bom-bom primitifnya merangkai terror. Sang teroris frustasi dengan perjuangan melawan Israel, apalagi Ketika dia dan adiknya melarikan diri ke wilayah yang dikuasai Suriah. Mereka ditangkap dan disiksa oleh militer Suriah, saudara-saudara Arabnya sendiri. “Sementara itu saudara-saudara Arab membunuh kita, kaum Zionis membunuh kita, kaum Falangis membunuh kita …”

    LE CARRÉ MEMANDANG HIDUP SEBAGAI IRONI, DAN ITU TERCERMIN dalam semua dongeng yang dia bukukan. “Kita menangi perang itu. (Tapi) kita sia-siakan perdamaian. Kita belum meningkat menuju kejayaan. Bentuk-bentuk materialisme yang kita gunakan sebagai pembenaran selama jihad anti-komunis kini muncul, mendakwa kita,” ujar le Carré saat diwawancarai Tim Weiner dalam Le Carré On The Most Immoral Premise of All.

    Dia menggunakan tokoh-tokoh dalam novel-novelnya untuk menyuarakan ironi yang dia maksudkan itu. Karakter Magnus Pym misalnya, digambarkan le Carré dulunya seorang mahasiswa pandai yang direkrut dinas rahasia Inggris untuk memata-matai mahasiswa pandai lainnya.

    Melalui dongengnya tentang Smiley dan Karla, dalam trilogy Tinker Taylor Soldier Spy, The Honourable Schoolboy, dan Smiley People, le Carré mengingatkan orang pada dekade 1950-an dan 1960-an. Saat itu Perang Dingin sedang memuncak, dan saat itu pula Inggris mengalami beberapa peristiwa yang memalukan. Sejumah pejabat dinas rahasianya membelot ke Uni Soviet, bahkan lima di antaranya disusupkan jauh sebelum Perang Dingin dimulai.

    Guy Burgess, Donald Maclean, dan Kim Philby direkrut di kampus Cambridge oleh NKVD (dinas rahasia Uni Soviet sebelum KGB). Agen Anthony Blunt direkrut oleh badan yang sama ketikan mengunjungi Rusia pada 1933. Agen rahasia yang ditugaskan Ml6 untuk menyusupi KGB, George Blake, malah sudah lama bekerja untuk KGB. Philby bahkan sempat menjadi direktur MI6, sementara karier terakhir Blunt menjadi kurator lukisan-lukisan milik Ratu Inggris dan mendapatkan gelar Sir.

    Lewat bingkai cerita tadi, le Carré melihat kemenangan Barat tak lebih dari serangkaian ironi – seperti keruntuhan Uni Soviet yang memerdekakan Azerbaijan, dengan kemungkinan pembantaian warga Armenia atau bangkitnya fundamentalisme lslam di republik-republik Asia Tengah. Sampai disini le Carré sepertinya hendak mengatakan bahwa imperium Barat akan menghadapi lebih banyak musuh dari kemenangannya selama ini.

    Seiring dengan bergeraknya politik dunia ke arah berakhinya Perang Dingin, Ie Carré mencari ironi lain, umpamanya dalam medium konfik NATO-Pakta Warsawa. Dan ketika konfik ini usai, le Carré memusatkan perhatian pada wacana antigloblisasi. Dia memperlihatkan sikap ini pada novel terakhirnya, The Constant Gardener. Dalam novel ini, dia mengisahkan Justin Quayle, seorang diplomat biasa di Konsultat Inggris untuk Kenya. Waktu luangnya dihabiskan untuk merawat taman di rumahnya. Istrinya, Tessa,adalah aktivis yang terlibat dalam pengawasan bantuan obat-obatan untuk masyarakat miskin Kenya. Dypraxa obat mutakhir untuk TBC, dibagi-bagikan oleh The House of Three Bees sebagai bahan uji coba yang murah di Kenya. Syahdan, pemerintahan diktator Moi akan mudah membereskan jika ada”kekacauan” akibat efek samping obat yang belum benar-benar teruji itu.

    Ketika Tessa dan temannya, Doktor Arnold Bluhm, dibunuh, kehidupan diplomat dan pertamanan Quayle berhenti. Dari seorang birokrat konsulat yang pendiam dan patuh pada tugas-tugasnya, Quayle berhenti bekerja dan menyusuri semua jejak Tessa dan Bluhm sebelum dibunuh. Setelah ditarik ke London, dia menghilang untuk mengetahui siapa yang membunuh Tessa dan apa penyebabnya. Namun, seperti beberapa tokoh le Carré dalam novel-novel terbaiknya, Quayle mengalami hal yang sama seperti Tessa.

    Kasus-kasus kematian akibat Dypraxa, yang membuat Tessa, Bluhm, dan akhirnya Quayle dibunuh, kembali jadi teka-teki abadi. Mereka yang terlibat tetap bebas. Keneth Curtiss si pemilik The House of Three Bees mendapatkan gelar kebangsawanan dan diangkat menjadi anggota The House of Lords. Sir Bernard Pellegrin dari Kementrian Luar Negeri Inggris mengambil pensiun dini untuk menjadi manajer di Karel Vita Hudson, produsen Dypraxa.

    The Constant Gardener membawa le Carré ke dalam alur tema mengenai bagaimana perusahaan-perusahaan obat internasional menggunakan negara dunia ketiga seperti Kenya sebagai laboratorium. Inspirasinya sangat jelas, berasal dari gejolak internasional yang kini terjadi: gerakan antiglobalisasi. Dalam penutup The Constant Gardener le Carré dengan tegas menyatakan bahwa apa yang ditulisnya tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang terjadi dalam dunia nyata.

  • Menggali Genealogi dan Arkeologi Kekuasaan – Catatan dan Komentar (Bagian 1)

    Judul : Foucault : The Birth of Power
    Penulis : Stuart Elden
    Penerbit : Polity Press, Cambridge, UK
    Tahun Penerbitan : 2017

    Relevansi

    Buku yang ditulis Stuart Elden, Profesor Teori Politik dan Geografi Universitas Warwick dan Universitas Monash, seperti bertepatan dengan upaya saya untuk kembali mempelajari dan merefleksikan pemikiran dan observasi Foucault tentang kekuasaan. Buku ini sebenarnya dituliskan dari material-material yang diteliti Elden dalam menyusun buku lain yang berjudul Foucault’s Last Decade (Polity, 2016).

    Elden bermaksud mengkonsolidasikan catatan-catatan yang dimilikinya untuk memahami awalan dan perubahan yang dilalui oleh pemikiran Foucault tentang kekuasaan. Elden berpendapat Foucault mengubah agenda riset yang menyibukannya selama dekade 1960, setelah kembali dari tugas mengajar di Tunisia. Pengalaman mengajar beberapa tahun di sana hingga 1969 dan perlawanan mahasiswa dan buruh pada Mei 1968 yang mendorong pembubaran Republik Perancis ke-IV, dinilai Elden sebagai penanda perubahan Foucault dari teoritis dan metologis menjadi lebih aktivis dan kolaboratif.

    Foucault melibatkan diri dalam riset-riset advokasi, khususnya terkait dengan lembaga penjara dan lembaga kesehatan. Riset-riset tersebut mengkaitkan erat dunia aktivis dan akademis Foucault.

    Catatan-catatan dari buku ini cukup membantu dalam mempelajari pemikiran-pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang sedang saya lakukan. Fokus buku ini adalah periode 1969-1974, tahun-tahun pertama Foucault menjabat sebagai pengajar di College de France. Elden sendiri, dalam buku ini mencoba memahami apa yang pada saat itu diupayakan Foucault dan bagaimana ia melakukannya. Pendeknya, genealogi kemunculan pertanyaan tentang kekuasaan dan makna genealogi dalam karya-karya Foucault.

    Susunan Buku

    Elden membagi buku ini ke dalam tujuh bab, termasuk pengantar. Tiga bab setelah Bab Pengantar diberi judul dari tiga konsep yang dijadikan Foucault sebagai fokus pada kuliah berseri di Universitas Katolik Pontifikal Rio de Janeiro, Brazil, pada 21-25 Meil 1973. Ketiga konsep tersebut adalah measure, inquiry, dan examination (kurang lebih dalam bahasa Indonesia: ukuran, penyelidikan, dan pemeriksaan). Measure menjadi tema dasar dalam kuliah La volonté de savoir(Keinginan untuk Tahu, 1970-1971), inquiry muncul pada kuliah Théories et institutions pénales (Teori dan Kelembagaan Penghukuman, 1971-1972), dan examination adalah sebuah fokus dalam la Société punitive (Masyarakat Penghukum, 1972-1973).

    Tiga bab berikutnya diberikan judul sesuai dengan tema-tema penelitian Foucault sebelum karyanya yang terkenal_History of Sexuality_: kegilaan, disiplin dan penyakit. Ketiga tema tersebut merupakan kerja problematisasi Foucault dari apa yang ia sebut sebagai sejarah dari masa kini (histoire au présent). Di beberapa titik, tema-tema tersebut meninjau kembali karya-karya Foucault sebelumnya namun memperdalam dan berhubungan dengan problematisasi kekuasaan di tema lain. Menurut Elden, contoh pada Psychiatric Power menunjukkan diskusi tentang kekuasaan yang terhubung dengan diskusi di buku lain seperti Discipline and Punish, yang merupakan sebuah analisis sejarah, kelembagaan, dan sosial atas bagaimana “pengetahuan berfungsi sebagai kekuasaan”.

    Penyusunan tersebut mungkin mencerminkan catatan Elden pada bab penutup buku, bahwa karya-karya Foucault diarahkan untuk menjadi “kotak alat” di mana pembaca dapat mengambil alat-alat di dalamnya untuk menyelesaikan masalah. Foucault pernah menggambarkan dirinya sebagai seorang artificer (petugas zeni) yang bertugas memetakan pertahanan lawan dan cara mendobraknya, sebagai seseorang yang mengkonsepkan, membangun, membongkar atau membebaskan jalan.
    (Bersambung)

  • Hidangan untuk Warga Sebuah Imperium

    Fast Food Nation: The Dark Side of the All-American Meal
    Eric Schlosser
    Houghton Mifflin Company
    Boston 2001
    356 hal

    Suatu malam di tahun 2000 saya berjalan bersama seorang aktivis dari United Students Against Sweatshops (USAS), salah satu organisasi yang terlibat dalam kampanye anti-globalisasi di Amerika Serikat. Tahun tersebut gema demonstrasi Seattle November 1999 masih bergaung. Demonstrasi-demonstrasi anti-globalisasi memuncak dalam skala internasional, bahkan aksi-aksi yang memobilisasi massa aktivis dari berbagai negeri begitu marak sampai membuat sebuah pertemuan WTO terpaksa diagendakan di Doha, Qatar. Pada 1 Mei 2000, sebuah restoran McDonald’s, simbol kekuasaan globalisasi, dihancurkan oleh sekelompok penganut anarkisme di London. Bersama massa yang menonton peristiwa itu, mereka membuat api unggun dari papan reklame restoran tersebut, dan menyantap burger ‘gratis’ di Trafalgar Square.

    Kami berdiskusi ngalor-ngidul soal globalisasi, kapitalisme global, dan aktivisme sambil menelusuri sepanjang Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Melintasi restoran McDonalds’ di Jalan Thamrin, ia bertanya: “Kenapa tidak membangun saja jaringan waralaba masakan khas Indonesia di seluruh dunia untuk mengalahkan McDonald’s?”

    Pertanyaan itu di kemudian hari melintasi jalan Transyogi yang menghubungkan Jakarta dengan Cianjur melalui Jonggol. Di sepanjang jalan itu berbagai kompleks perumahan real-estate bertumbuhan dengan laju yang luar biasa cepat. Namun yang menarik, hal ini dengan segera diikuti dengan berdirinya restoran-restoran cepat saji yang bersaing dengan rumah-rumah makan tradisional. Awalnya hanya ada sebuah restoran McDonald’s, sebuah Pizza Hut, dan sebuah waralaba ala Indonesia, the Rollies beserta Cwie-Mie Malang. Lebih ke dalam ada satu lagi Bakmi Japos. Dalam jangka kurang lebih satu tahun, Kentucky Fried Chicken, Popeye’s, Papa Ron’s, Bolo-Bolo berdesak-desakkan mencoba menarik pelanggan. Benar-benar usaha yang kompetitif.

    Usaha ini mulai dirintis kurang lebih empat puluh tahun lalu, dan kini sudah merasuki setiap sudut kehidupan masyarakat Amerika. Awalnya tidak beda dengan para tukang bakso ataupun bahkan hamburger keliling yang sering kita jumpai di perumahan-perumahan ibukota. Citra awalnya juga tak kalah rendah, sebanding dengan saus tomat berbahan bubur kentang, air, penyedap rasa, dan pewarna sintetis yang dipakai dalam ‘industri’ mie ayam pinggir jalan kita. Namun kini ia seolah mengejar para pelanggannya, hidup masyarakat Barat ataupun yang kebarat-baratan seperti tidak akan lepas dari makan cepat saji.

    Hal ini tak bisa dilepaskan dari beberapa perubahan mendasar dalam struktur sosial ekonomi masyarakat tersebut. Masa-masa keemasan upah tinggi buruh di dunia Barat yang berakhir pada tahun 1973 mendorong perubahan dalam hubungan rumah tangga. Sejak saat itu, tingkat upah terus menerus menurun sehingga keluarga-keluarga biasa mengalami kesulitan untuk membiayai standar hidup yang telah dicapai sebelumnya. Kebutuhan untuk membayar tagihan pengeluaran rumah tangga memaksa banyak perempuan dan ibu muda meninggalkan keluarga mereka untuk bekerja, tanpa harus terinspirasi oleh feminisme yang pada masa itu juga sedang berkembang pesat. Perubahan peran gender ini terus meningkat, pada tahun 1975 sudah sepertiga dari ibu rumah tangga AS bekerja, kini dua pertiga dari ibu di AS bekerja. Dengan pergeseran peran seperti ini, ‘layanan’ yang biasa diberikan oleh ibu rumah tangga harus digantikan, terutama dalam hal masak-memasak. Perubahan demografik seperti inilah yang menguntungkan industri makanan cepat saji.

    Luar biasa memang percepatan jasaboga cepat saji sehingga dapat mendominasi ruang kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika. Pada tahun 1968, hanya ada kira-kira 1000 restoran McDonald’s. Kini, di seluruh dunia terdapat 23.000 restoran waralaba tersebut, dan setiap tahun bertambah kira-kira sekitar 2000 restoran. McDonald’s Corp kemudian menjadi ‘teladan’ industri jasa Amerika yang menciptakan sembilan puluh persen pekerjaan baru di AS. Ia adalah pemilik terbesar jasa eceran di seluruh dunia. Penghasilan terbesarnya ternyata bukanlah dari penjualan makanan cepat saji, melainkan dari pengumpulan sewa waralaba.

    Perkembangan bisnis makanan cepat saji tak bisa dilepaskan dari pengubahan citra makanan itu sendiri. Citra menjadi penting untuk mengubah kebiasaan makan masyarakat. Dapat dikatakan perjuangan terbesar dari makanan cepat saji terletak pada penciptaan sekumpulan besar konsumen, yang kecanduannya akan makanan cepat saji dapat memastikan angka penjualan makanan tersebut.

    Pada awal abad duapuluh, sebagian besar masyarakat Amerika mencurigai apa yang disebut ‘hamburger’. Ia dianggap hanyalah makanan untuk mereka yang miskin. Banyak orang menganggap hamburger berisi daging busuk yang ditambah dengan pengawet kimia. Sangat jarang hamburger disajikan di restoran-restoran. Citra ini berhasil diubah oleh White Castle, jaringan perusahaan produsen hamburger pertama di AS. Kampanye ‘pemasyarakatan’ hamburger perusahaan ini benar-benar luar biasa banyak akalnya, para pendirinya memanggang hamburger di depan para pelanggan sambil mengatakan bahwa hamburger segar datang dua-empat kali sehari. Dalam kesempatan yang lain, perusahaan ini bahkan mensponsori sebuah percobaan yang melibatkan seorang mahasiswa kedokteran Universitas Minesota yang mencoba hidup selama 13 minggu hanya dengan hamburger dan air. White Castle juga memulai penggunaan nama-nama yang berkonotasi dengan kesehatan ataupun keaslian untuk menamai produk-produknya.

    Perjuangan itu tampaknya tidak sia-sia, pembeli hamburger meningkat namun masih sebatas pada kaum laki-laki perkotaan. Perluasan konsumen hamburger kemudian memang lebih banyak dipengaruhi oleh gaya urbanisasi AS pada abad duapuluh: budaya bermobil yang mendorong perkembangan kota-kota di sebelah barat AS. Terlahirlah restoran-restoran ‘drive-in’ mengikuti budaya tersebut, yang sekaligus menempatkan hamburger sebagai salah satu makanan utama masyarakat AS.

    Satu generasi silam, tiga perempat makanan yang dikonsumsi di AS dibuat di rumah, kini orang-orang Amerika melahap makanan yang sebagian disajikan di luar rumah, terutama di restoran-restoran cepat saji. Pada tahun 1970 orang Amerika menghabiskan US$ 6 milyar untuk makanan cepat saji. Kini, lebih dari US$ 100 milyar pendapatan orang Amerika amblas masuk ke kantung pemilik restoran cepat saji. Ini artinya orang Amerika menghabiskan uang lebih banyak untuk hamburger, kentang goreng, dan makanan cepat saji lainnya dibandingkan untuk membiayai pendidikan tinggi ataupun membeli komputer, perangkat lunak, atau mobil baru. Jumlah uang untuk mengkonsumsi makanan cepat saji itupun lebih besar daripada pengeluaran untuk menonton film, membeli buku, majalah, koran, video, dan kaset musik digabungkan.

    Ketika McDonald’s baru saja berubah menjadi perusahaan waralaba, mengiklankan diri secara nasional masih terlalu mahal. Namun Ray Kroc, pendiri jaringan waralaba tersebut menemukan cara beriklan gratis. Perusahaan tersebut melibatkan diri ke dalam acara-acara amal yang ditujukan kepada anak-anak. Tujuannya adalah membuat McDonald’s menjadi tempat keluarga dan anak-anak.

    Begitu namanya dikenal dan aset perusahaan telah mencukupi untuk membiayai iklan di berbagai jenis media, pemasaran McDonald’s tetap terfokus pada anak-anak. “Untuk setiap anak yang suka melihat iklan TV kami dan mengajak kakek-neneknya ke McDonald’s, artinya ada tambahan dua pelanggan baru,” begitu ujar Ray Kroc. Mereka yang pada saat kanak-kanak menjadi langganan McDonald’s, sewaktu dewasa kemudian akan selalu mengenang kenangan indah di McDonald’s dan mengajak anak-anak mereka ke McDonald’s.

    Kroc mungkin juga lebih tepat disebut sebagai orang yang mampu melihat jauh ke depan ketika melihat manfaat televisi untuk menciptakan konsumennya. Seorang anak Amerika rata-rata menonton televisi sebanyak 21 jam seminggu, atau kira-kira satu setengah bulan per tahun. Ini belum termasuk bermain komputer, menonton video, atau permainan video seperti Playstation atau X-Box. Di luar sekolah, anak-anak Amerika lebih banyak menonton televisi daripada melakukan kegiatan lain, kecuali tidur. Waralaba ini kini mengudarakan lusinan iklan radio dan televisi setiap hari di AS. Industri makanan cepat saji secara keseluruhan menghabiskan US$ 4 milyar setahun di dunia periklanan.

    Hiburan anak-anak lantas dapat dikatakan sebagai alat pemasaran yang diciptakan industri makanan cepat saji. Anak-anak kelas menengah di Jakarta tentu sudah mengenal Nickeledeon, The Simpsons, atau acara-acara televisi kabel seperti Fox Kids Network. Di AS, acara-acara hiburan anak-anak tersebut sudah demikian identik dengan makanan cepat saji sehingga budaya pop anak-anak tidak dapat lagi dibedakan dengan budaya makanan cepat saji. Pada tahun 1996, McDonald’s dan Disney menandatangani perjanjian pemasaran 10 tahun untuk memasarkan mainan-mainan yang populer dari film-film Disney dijual sebagai bagian dari paket penjualan di restoran-restoran McDonald’s. Jika kita pergi ke restoran-restoran McDonald’s di kota-kota besar di saat film Finding Nemo diputar, kita pasti menemukan penjualan tokoh-tokoh film tersebut di sana.

    Lebih hebat lagi, skenario film-film Disney juga dipengaruhi oleh kepentingan McDonald’s. Film George the Jungle ditulis ulang ketika dananya disuntik hingga dua kali lipat oleh McDonald’s. Yang ditambahkan adalah adegan tokoh utama film tersebut melahap setangkup BigMac, di bawah pengawasan seorang perwakilan McDonald’s yang datang khusus untuk memastikan BigMac tersebut terlihat dengan jelas.

    Selain anak-anak, sasaran pemasaran makanan cepat saji adalah mereka yang disebut ‘pengguna kelas berat’, laki-laki berusia 18-24 tahun yang melahap makanan cepat saji tiga sampai empat kali seminggunya. Iklan-iklan untuk pelanggan jenis ini jelas berbeda, lebih banyak menggunakan guyonan dewasa, kekerasan, dan perempuan cantik. Selain itu, mereka juga merupakan penggemar berbagai bidang olah raga yang dipertontonkan di jaringan-jaringan televisi AS. Karenanya McDonald’s sudah menjalin perjanjian promosi bersama dengan National Basketball Association (NBA), Tricon Global Restaurants (pemilik KFC, Pizza Hut, dan Taco Bell) dengan National Collegiate Athletic Association (NCAA, yang mengadakan pertandingan liga basket antar kampus), dan Denny’s dengan Major League Baseball.

    Dampak dari pembangunan citra adalah lekatnya budaya makanan cepat saji dalam pemahaman anak-anak. Sebuah survei menunjukkan bahwa 96 persen anak sekolah AS mengenal Ronald McDonald, hanya Sinterklas yang lebih populer darinya. Dan dua busur emas yang membentuk huruf M McDonald’s kini jauh lebih populer dibandingkan lambang salib agama kristen.

    Bisnis waralaba makanan cepat saji adalah kreasi dari generasi entrepreneur yang telah membentuk tradisi pemasaran Amerika. Para pelopornya kebanyakan tidak pernah mengecap bangku kuliahan. Sejak remaja mereka menunjukkan diri sebagai pekerja keras. Pendirian teguh juga menjadi ciri mereka. Buat mereka, kerja keras adalah sesuatu yang utama dan mereka sangat bangga karenanya. Dari pengalaman puluhan tahun yang mereka miliki sebagai salesman jalanan mereka membangun usaha mereka.

    Ray Kroc, pendiri jaringan waralaba McDonald’s, sudah mulai bekerja ketika baru masuk SMA. Ia menemukan kesenangan sendiri sebagai penjaja soda, usaha milik pamannya. Ia sangat senang “bisa menjual es krim sundae kepada orang yang datang untuk membeli secangkir kopi.” Bertahun-tahun Kroc menjual biji kopi, buku musik, cangkir kertas, mesin pembuat krim yang bisa menghasilkan milkshake ataupun krim pencukur, sendok es krim, sampai kursi-meja lipat yang menempel di dinding.

    Kerja sebagai penjaja mesin milkshake membawanya ke restoran McDonald’s pertama kalinya. Pada tahun 1954, McDonald bersaudara sudah memulai usaha restoran swalayan. Ia heran kenapa McDonald’s membutuhkan delapan mesin yang ia jajakan, padahal mesin itu mampu membuat lima milkshake sekaligus. Begitu ia melihat cara kerja restoran swalayan McDonald’s ia segera tahu jawabannya, bahkan ia segera bisa membayangkan kalau restoran seperti itu ada di setiap perempatan jalan yang ramai oleh orang. Akhir cerita, Kroc berhasil meyakinkan McDonald bersaudara untuk menjual hak waralaba kepadanya.

    Lain lagi dengan kisah Harland Sanders. Ia meninggalkan bangku sekolah pada usia 12 tahun. Kemudian ia bekerja sebagai kusir keledai, bekerja di tanah peternakan, dan sempat menjadi pemadam kebakaran di kereta api. Di beberapa kesempatan, ia pernah menjadi pengacara tanpa gelar sarjana hukum, menjadi bidan tanpa punya sertifikat medis, menjual ban, menawarkan asuransi dari rumah ke rumah, sampai punya restoran dan motel yang kemudian ia jual untuk membayar utang-utangnya. Pada umur 65 tahun, ia kembali menjadi salesman jalanan yang menjajakan ‘resep rahasia’ kepada para pemilik restoran. Pada tahun 1952, restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) pertama dibuka di Utah. Karena tidak punya uang untuk mempromosikan jaringan restorannya, ia berpakaian seperti seorang kolonel asal Kentucky dengan setelan putih dan dasi tali hitam. Dalam jangka 8 tahun, KFC sudah menjadi jaringan restoran terbesar di AS.

    Persaingan ketat antar waralaba dengan segera terjadi ketika masing-masing perusahaan tersebut sudah mengungguli saingan-saingan lokal mereka. Satu per satu restoran drive-in yang populer di jaman 1950an bertumbangan, digantikan dengan restoran-restoran makanan cepat saji. Karena lebih aman dan murah membuka usaha sebagai pemegang waralaba, maka banyak pengusaha rumah makan dengan segera membeli hak waralaba mereka kepada usaha yang sudah terkenal. Persaingan begitu ketatnya, setiap ada satu waralaba membuka rumah makan di satu daerah pemukiman, maka dua atau tiga waralaba lainnya akan ikut membuka di daerah yang sama. Mereka pikir pasti ada pangsa pasar yang besar di sana.

    Namun, dasar kesuksesan waralaba adalah terletak pada keseragaman. Menurut berbagai pandangan mengenai masalah waralaba, semua cabang-cabang waralaba haruslah dapat diandalkan untuk memberikan layanan yang seragam. Pelanggan mendatangi merek-merek yang akrab di kepalanya disebabkan oleh sebuah insting yang menghindari hal-hal yang tidak mereka kenal. Sebuah merek memberikan rasa kepastian jika produk-produknya selalu sama di manapun juga.

    Suatu hari Ray Kroc geram kepada beberapa pemegang waralaba yang menghambat keseragaman. “…kita tidak bisa mempercayai orang-orang yang bukan penurut,” katanya. “Kita akan buat mereka menjadi penurut dengan cepat… Organisasi ini tidak bisa tunduk pada perseorangan, perseoranganlah yang harus tunduk pada organisasi.”

    Dari sekian waralaba yang kini bertahan di AS, McDonald’s adalah yang terbesar dan tersukses. Pada tahun 1970an, perusahaan ini menggunakan helikopter untuk memetakan letak-letak kawasan pemukiman ataupun pusat bisnis baru di mana restoran McDonald’s baru akan dibuka. Kini, mereka sudah menggunakan foto satelit untuk meramalkan kawasan-kawasan tersebut.

    Sebagai penyempurnaan dari kesuksesannya, McDonald’s kini memiliki Museum Ray Kroc yang memamerkan kehidupan Kroc. Museum itu mungkin lebih tepat sebagai kuil pemujaan terhadap Kroc, karena foto-foto, rekaman video, dan suara Kroc diabadikan oleh teknologi canggih seperti yang kini digunakan di Disneyland atau Warner Bros Movieland. Selain museum, McDonald’s juga mendirikan Hamburger University, di mana ribuan manajer waralaba baru belajar dan memperoleh gelar sarjana dalam “Hamburgerologi”.

    Hari itu bertanggal 30 April 2002, pukul 07.00. Selebaran dan poster ajakan pemogokkan telah mewarnai jalan-jalan protokol Jakarta, untuk memperingati hari buruh sedunia, 1 Mei. Di era keterbukaan terbatas, sudah beberapa kali serikat-serikat buruh melakukan aksi 1 Mei di Jakarta. Setiap tahun jumlah pesertanya semakin meningkat, terlepas dari upaya-upaya ‘pencegahan’ yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat kepolisian. Apalagi, aksi-aksi buruh selain aksi 1 Mei juga telah berani melakukan pemblokiran jalan maupun pawai dengan ribuan massa di jalan-jalan utama Jakarta.

    Pagi itu mungkin hanyalah pagi yang lain seperti biasanya yang dilalui oleh Fika, pembawa acara obrolan pagi di I-Radio. Pukul 07.00 lainnya untuk memulai acara yang ia bawa bersama Rafiq di bawah arahan Pras, produsernya. Tema obrolan pagi itu menjadi titik penting bagi sebagian besar kelas menengah Jakarta yang agaknya khawatir dengan kemacetan yang diakibatkan oleh aksi peringatan 1 Mei. Namun, yang lebih penting lagi, Pras sedang menanti dua orang perwakilan serikat buruh yang sedang mencoba membangun organisasi di dalam jaringan waralaba McDonald’s.

    Beberapa menit selanjutnya, acara obrolan pagi tersebut sudah mengudara namun hanya satu perwakilan dari Komite Aksi Satu Mei yang telah masuk dalam ruang siaran. Dua pegawai McDonald’s telah tiba, namun mereka masih ragu apakah mereka akan masuk ke dalam ruang siaran atau tidak. Persoalan utamanya, gedung yang ditempati I-Radio adalah Gedung Sarinah Thamrin, dan delapan lantai di bawahnya terdapat restoran McDonald’s di mana keduanya bekerja. Restoran waralaba McDonald’s yang pertama kali berdiri di negeri ini tersebut memperdengarkan siaran pagi I-Radio di pengeras suara mereka.

    Tampilan gemerlap dan ceria restoran-restoran McDonald’s ataupun waralaba makanan cepat saji lainnya juga menyembunyikan sebuah taring hyena. Di balik meja-meja pemesanan, di balik seragam yang warna-warni, berlaku hubungan eksploitasi yang cukup kejam. Pekerja restoran makanan cepat saji adalah buruh yang dibayar murah. Sebagian besar adalah pekerja paruh waktu yang terdiri dari pelajar sekolah menengah, mahasiswa, pengangguran, ibu rumah tangga. Posisi tawar mereka begitu lemah dan kecil kemungkinan mereka berpikiran untuk membentuk serikat buruh.

    Dapur dan mesin-mesin di dalamnya begitu modern sehingga tidak membutuhkan keahlian untuk mengubah makanan setengah masak tadi menjadi makanan kegemaran konsumen. Dengan mudah, perusahaan-perusahaan waralaba makanan cepat saji memberhentikan dan mengganti pekerja mereka. Semaksimal mungkin mesin dan buku manual menggantikan banyak kerja-kerja yang membutuhkan pelatihan. Alasannya, biaya yang dikeluarkan perusahaan tetap kecil, menjaga posisi tawar buruh tetap rendah, dan membuat perusahaan dapat membayar upah dengan murah. Di tengah boom ekonomi AS tahun 1990an, saat pekerja sektor-sektor lain mendapat kenaikan upah, pekerja restoran makanan cepat saji malah mengalami penurunan upah.

    Adalah Fred Turner, seorang eksekutif McDonald’s, yang menciptakan sebuah sistem yang ketelitian dan perhatian yang begitu besar pada hal-hal detil. Pada tahun 1958 ia menggabungkan buku petunjuk pelatihan dan pengoperasian, yang menjelaskan bagaimana hampir semua kerja dilakukan di restoran waralaba McDonald’s. Misalnya, hamburger harus selalu diletakkan berjejer enam dengan rapi di atas pemanggang, atau kentang goreng tebalnya harus tepat 0,28 inci. Kini, buku petunjuk yang disebut ‘Kitab Suci’ itu telah berlipat sepuluh jumlah halamannya. Yang diatur juga jauh lebih rinci, dari peralatan apa saja yang harus dipakai sampai bagaimana para pelayan menyapa pelanggan.

    McDonald’s termasuk dalam daftar perusahaan-perusahaan yang anti serikat buruh. Puluhan tahun McDonald’s di AS berhasil menghentikan upaya-upaya pembentukkan serikat buruh di restoran-restoran mereka. Caranya bermacam-macam, dari mulai membentuk tim gerak cepat untuk mendatangi restoran yang tercium aktivitas serikat buruh sampai penginterogasian pekerja restoran dengan polygraph, alat pendeteksi kebohongan. Jika pembentukkan serikat buruh gagal dihentikan, dengan mudah McDonald’s menutup restoran tersebut, memecat semua pekerjanya, dan membuka restoran baru tak jauh dari tempat tersebut.

    Di antara mereka yang pernah terlibat di sisi kiri jalan perubahan Indonesia, konsep yang disebut “corak produksi masyarakat” mungkin tidak begitu asing. Konsep ini sering dipakai dalam perdebatan-perdebatan landasan perjuangan perubahan. Ia dikembangkan oleh pemikir-pemikir ekonomi abad sembilan belas, terutama di saat pematangan revolusi industri di Eropa dan daratan Amerika Utara. Corak produksi masyarakat adalah analisa mengenai bagaimana sebuah masyarakat ‘mengorganisasikan’ dirinya untuk menciptakan barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bentuk yang paling kasar adalah bagaimana kebutuhan makanan masyarakat tersebut dipenuhi. Ia kemudian dipenuhi oleh relasi sosial yang kompleks, sampai pada bentuk pemilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan oleh peranan dan posisi hirarkis dalam organisasi sosial masyarakat.

    Jalan yang didorong oleh industri makanan cepat saji pada akhirnya menjadi cerminan dari sebuah struktur sosial yang berdiri dalam masyarakat AS. Dalam perjalanan menuju posisi dominan, jasaboga cepat saji mendorong penggunaan teknik-teknik baru dalam memproduksi makanan. Namun bukan sebatas itu saja, ia juga mendorong tumbuhnya sebuah pola eksploitasi baru, sebuah hubungan buruh dan majikan yang baru antara petani kentang dan produsen kentang goreng beku, antara peternak sapi dengan pemilik pabrik pengolahan daging, dan antara buruh dan pemilik pabrik pengolahan daging.

    Saat ini McDonald’s adalah pembeli terbesar daging sapi dan kentang. Ia juga menjadi pembeli kedua terbesar produk-produk peternakan ayam. Bahkan jenis ayam yang benar-benar baru dikembangkan agar dapat diproduksi menjadi McNugget. Dengan posisi yang demikian, agroindustri AS menjadi sangat tergantung pada industri makanan cepat saji. Lebih jauh lagi, pengambilan keputusan pembelian yang tersentral pada jaringan restoran besar dan tuntutan mereka agar produk-produk agroindustri distandarisasikan menyebabkan hilangnya kesempatan petani dan peternak kecil. Akibatnya, pasokan makanan AS benar-benar jatuh ke tangan perusahaan-perusahan agroindustri raksasa multinasional yang dapat dihitung dengan jari. Thomas Jefferson, salah seorang presiden AS, pernah berujar bahwa fondasi demokrasi negerinya terletak pada petani dan peternak mandiri. Namun tampaknya hal itu tidak berlaku lagi. Di AS kini lebih banyak narapidana dibandingkan dengan petani dan peternak.

    Berkat McDonald’s dan perusahaan-perusahaan makanan cepat saji lainnya, pada tahun 1997 orang Amerika rata-rata memakan kira-kira 15 kilogram kentang. Pasar yang demikian besar itu dipasok oleh segelintir industri kentang goreng canggih. Lewat sudah jaman di mana para pelayan restoran makanan cepat saji menghabiskan waktu berjam-jam mengupas dan memotong kentang.

    Awalnya, bisnis kentang goreng merayu para petani untuk hanya menanam kentang. Apalagi rayuan tersebut digombali dengan iming-iming bantuan finansial dan bibit kentang. Namun dalam perkembangannya, atas nama keseragaman kentang goreng, McDonald’s dan jaringan restoran lainnya mengurangi jumlah pemasok kentang goreng beku. Pabrik yang kalah terpaksa tutup.Akhirnya wujud pasar kentang seperti jam pasir, dengan ratusan juta konsumen di bagian bawah dan dua juta petani di bagian atas. Sementara di bagian tengah yang sangat sempit, belasan perusahaan multinasional kentang goreng beku yang mengambil untung dari setiap transaksi.

    Peternak sapi juga bernasib sama dengan para petani kentang. Industri daging olahan pertama-tama menghancurkan posisi tawar para peternak dengan cara yang sama dengan industri kentang goreng beku. Penggabungan perusahaan dan penggunaan teknologi tinggi membuat jumlah pabrik-pabrik daging olahan semakin sedikit. Pada tahun 1970, empat perusahaan pengolah daging terkemuka memotong hanya 21 persen sapi AS. Setelah kabinet Reagan membolehkan adanya penggabungan usaha tanpa harus terkena Undang-Undang Anti Trust, kini empat perusahaan pengolah daging memotong 84 persen sapi AS. Keempat perusahaan itu juga kini dapat mengontrol harga jual sapi dengan memelihara sendiri ternak tersebut atau dengan cara mengijonnya. Dengan menguasai 20 persen ternak hidup, kapan saja ada kenaikan harga jual sapi, perusahaan-perusahaan tersebut tinggal melepas sapi-sapi mereka ke pasar.

    Milyaran daging burger yang dijual melalui restoran-restoran fastfood setiap tahun di AS diproduksi oleh segelintir pabrik pengolahan daging raksasa. Pabrik-pabrik tersebut biasanya memiliki satu atau lebih kandang khusus untuk menggemukkan sapi sebelum dipotong. Tak tanggung-tanggung, jumlah sapi yang akan digemukkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. Sapi-sapi itu diberi makan gandum 3000 pon gandum selama tiga bulan agar bertambah berat sebanyak 400 pon.

    Begitu siap dipotong, jangan bayangkan seperti sapi-sapi yang akan masuk rumah-rumah jagal di Indonesia. Sejak lama, pabrik pengolahan daging di AS memiliki unit jagal sendiri. Setiap hari ribuan sapi disembelih, dan seorang tukang jagal menyembelih satu sapi setiap sepuluh detik. Setelah itu sistem roda berjalan dan buruh murah akan memproses sapi itu menjadi daging kaleng, daging burger, atau makanan anjing.

    Pabrik-pabrik pengolahan daging di AS kini menjadi tempat kerja yang paling berbahaya. Ketika teknologi seharusnya mempermudah kerja manusia, perusahaan-perusahaan pengolah daging memecat buruh-buruh terlatihnya dan memperkerjakan buruh-buruh tidak terlatih. Di AS, sebagian besar dari buruh pabrik pengolah daging adalah buruh-buruh migran yang dibayar murah dan tidak terlatih. Sementara alat-alat yang digunakan, meski mudah pengoperasiannya, tapi berbahaya. Sebagai contoh, setelah seekor sapi disembelih dan diambil isi perutnya, sapi dibelah dengan gergaji mesin.

    Ketika sebuah pabrik pengolah daging mampu memproses 5000 sapi satu hari, maka bisa dibayangkan kecepatan kerja yang dibutuhkan untuk para penyembelih dan pemotong daging. Dengan kecepatan kerja dan alat-alat berbahaya yang digunakan, kecelakaan menjadi tak terhindarkan. Setiap pekerja pabrik tersebut dipastikan pernah mengalami kecelakaan ringan atau berat. Sapi-sapi yang tergantung pada gantungan berjalan sesekali jatuh menimpa pemotong daging, karena pekerja yang bertugas menggantung sapi kurang erat mengikat kaki sapi tersebut.

    Pada 13 Oktober 2003 sebuah konferensi bertemakan “Berbisnis di Irak: Menggalakan Sektor Swasta” diadakan di London. Pesertanya tak tanggung-tanggung, 145 delegasi yang mewakili berbagai macam investor multinasional. Akan tetapi, reportase-reportase yang memberitakannya memiliki satu kesamaan: McDonald’s akan membuka restorannya di Irak pada tahun 2004.

    Benar-benar luar biasa, kini kita telah bisa mengatakan para prajurit AS gugur demi tugasnya membuka McDonald’s di Baghdad. Industri yang sebelumnya berhasil mendominasi pola makan masyarakat AS juga kini ikut serta bertanggung jawab dalam menghancurkan sebuah bangsa. Ketika derap sepatu lars membuat orang Irak mencicipi setungkup BigMac, Eric Schlosser mungkin tepat ketika dalam bukunya yang berjudul ‘Fast Food Nation’ mengutip pepatah lama Amerika: “You are what you eat.”